Jumat, 05 April 2013
PERANGKAT DASAR TARBIYAH
10.35
1 comment
PERANGKAT DASAR
TARBIYAH
Apa yang Pertama kali
harus Tersedia?
Banyak hal yang ikut
menunjang keberhasilan tarbiyah. Keseluruhannya perlu dikenali agar menjadi
perhatian bagi setiap murabbi. Secara umum alat bantu dalam proses tarbiyah
adalah manajemen. Dengan beberapa jenis manajemen diharapkan tarbiyah akan
berjalan efektif menuju kepada tujuan, dan terjauhkan dari penyimpangan.
Kegiatan tarbiyah
pada dasarnya memerlukan manajemen, sebagai alat bantu mencapai tujuan yang
diharapkan. Paling tidak ada empat manajemen yang bisa menunjang keberhasilan
tarbiyah, yaitu : manajemen personal, manajemen kelompok, manajemen murabbi,
dan manajemen interaksi. Berikut akan dibahas satu per satu secara lebih rinci.
A.
Manajemen Personal
Manajemen personal
adalah proses pengelolaan personal sejak merekrut dan memulai proses tarbiyah.
Tujuan manajemen pada tingkatan ini ada dua :
a. Memastikan
kesiapan mutarabbi untuk mengikuti proses tarbiyah, yang ditandai dengan
pemenuhan syarat-syarat peserta pada diri mutarabbi sesuai tahapannya
b. Memahami
berbagai kondisi di sekitar mutarabbi guna membentuk hubungan yang baik antara
murabbi dan mutarabbi setelah berada dalam proses tarbiyah
Prinsip Manajemen
Personal
1. Pengenalan
kondisi umum mutarabbi
Mutarabbi harus
dikenali kondisinya untuk memastikan adanya syarat-syarat peserta dalam
dirinya. Jika akan masuk pada tahap pertama, maka dalam diri mutarabbi tersebut
sudah dipenuhi syarat-syarat peserta tahap pertama. Jika akan masuk pada tahap
kedua, harus dipastikan bahwa ia telah memiliki syarat-syarat sebagai peserta
tahap kedua.
Selain untuk
mengetahui adanya syarat-syarat tersebut, pengenalan kondisi mutarabbi ini juga
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengenali lebih dalam berbagai hal dalam
dirinya, sehingga akan memudahkan dalam pengelolaan. Hal-hal yang secara umum
perlu diketahui dari mutarabbi antara lain :
a. Tingkat
pemahaman dan pengamalan keagamaan
b. Kondisi
sosial ekonomi
a. Usia
b. Latar
belakang keluarga
c. Tingkat
intelektualitas
d. Tingkat
pendidikan
e. Kecenderungan
ruhiyah
f.
Kepekaan emosional
g. Kecenderungan
aktivitas
h. Kafa’ah
yang dimiliki mutarabbi
Dengan mengetahui
berbagai macam kondisi yang ada pada diri mutarabbi tersebut sejak awal, maka
seorang murabbi akan bisa menyimpulkan apakah seseorang tepat mengikuti
kegiatan tarbiyah tahap pertama ataukah tahap kedua. Selain itu, akan lebih
memudahkan pengelolaan tarbiyah di waktu-waktu selanjutnya. Di sisi lain, pengenalan
ini bagian penting untuk menentukan apakah tarbiyah bagi personal tersebut
menggunakan metode halaqah
tarbawiyah atau tarbiyah fardiyah.
2. Pengenalan
latar belakang aktivitas mutarabbi
Untuk mutarabbi yang
akan masuk ke tahap pertama, di antara hal yang perlu dikenali misalnya :
a. Apakah
ia pernah terlibat dalam komunitas ideologis non-Islam?
b. Jika
pernah terlibat, sejauh mana intensitas dan keterikatannya?
c. Apakah
ia pernah memberikan loyalitas kepada sebuah gerakan tertentu?
d. Apa
latar belakang organisasi keagamaannya selama ini?
e. Apa
afiliasi partai politiknya?
f.
Apa latar belakang organisasi
kemasyarakatannya?
g. Apakah
ia memiliki “cacat” yang akan berpengaruh bagi organisasi, baik secara politik
maupun amni (keamanan)?
Untuk mutarabbi yang
akan masuk tahap kedua, perlu dimengerti misalnya :
a. Siapa
murabbi pada tahpa sebelumnya?
b. Sejauh
mana keterlibatan mutarabbi dalam kegiatan dakwah selama ini?
c. Materi-materi
apa saja yang pernah diterima?
d. Kegiatan-kegiatan
apa saja yang pernah diikuti?
e. Kecenderungan
apa yang spesifik pada mutarabbi?
Di antara cara yang
bisa digunakan untuk mengetahui latar belakang ini adalah dengan perbincangan
ringan, investigasi langsung kepada mutarabbi, atau informasi dari murabbi
sebelumnya, dan orang-orang yang mengenalnya.
Pengenalan yang
detail tentang kondisi khusus personal semakin memantapkan keputusan apakah ia
dianggap layak dimasukkan ke dalam forum tarbiyah tahap pertama atau ke tahap
kedua. Sekaligus juga memantapkan pilihan, apakah model halaqah tarbawiyah tepat bagi personal tersebut atau
model tarbiyah fardiyah.
3. Memilih
anasir pengubah
Setelah mendapatkan
berbagai macam gambaran kondisi umum maupun khusus personal yang akan direkrut
ke dalam suatu kelompok tarbiyah, maka tinggal menetukan pilihan siapa di
antara mereka yang dianggap layak dan siap mengikuti kegiatan tarbiyah tahap
pertama dan tahap kedua.
Yang terpilih dari
sekian banyak personal untuk mengikuti program tarbiyah adalah yang memiliki
kriteria sebagai anasir (unsur) pengubah. Artinya, kita melakukan tarbiyah
bukanlah mencetak orang-orang yang puas dengan mendapatkan materi-materi
tarbiyah karena dianggap telah memenuhi kebutuhan rohani mereka. Tarbiyah
adalah kegiatan mencetak anasir pengubah, agar mereka menjadi dai yang siap
mengemban amanah perubahan di tengah-tengah masyarakat.
B. Manajemen
Kelompok
Setelah dikenali hal
yang umum maupun khusus dari mutarabbi, kemudian mulai dilakukan pemilihan
model pembinaan yang tepat. Sebagian bisa dibina dengan model halaqah tarbawiyah, namun
sebagian yang lain, karena posisi atau kondisinya, lebih tepat menggunakan
model tarbiyah fardiyah.
Bagi personal yang
akan dibina dalam bentuk halaqah tarbawiyah, langkah berikutnya adalah
dipilihkan kelompok yang tepat. Rosululloh saw mengajarkan agar menempatkan
manusia sesuai posisinya (anzilunnas manazilahum). Manajemen kelompok ini
memiliki tiga tujuan pokok :
a. Menentukan
bentuk pembinaan yang paling tepat bagi setiap personal yang telah terpilih,
apakah dengan halaqah tarbawiyah atau tarbiyah fardiyah
b. Membentuk
kelompok tarbiyah sesuai tahapannya, dengan memilihkan anggota yang
memungkinkan secara teoritis untuk menjadi sebuah kelompok halaqah tarbawiyah
yang solid, dinamis dan produktif
c. Menghindari
munculnya kendala dalam proses tarbiyah yang disebabkan oleh kesalahan dalam
penentuan metode pembinaan dan pembentukkan kelompok
Penentuan Model
Tarbiyah
a. Tarbiyah
Fardiyah : Merekrut Kader “Khas”
Ada kalanya,
personal-personal tertentu setelah disyurokan dalam organisasi dakwah
dinyatakan lebih tepat dikelola secara fardiyah,
bukan dalam kelompok halaqah
tarbawiyah. Untuk tipe personal yang seperti ini, perlu diagendakan dalam
administrasi tersendiri sehingga memudahkan dalam upaya pengelolaan nantinya.
Di antara alasan
memilih model tarbiyah
fardiyah bagi seorang
personal adalah karena posisinya yang amat terkenal di masyarakat (sebagai
figur yang diterima oleh semua kalangan), apabila diketahui keterlibatannya
dalam sebuah proses tarbiyah, akan menyulitkan dirinya. Atau bisa jadi dia
adalah seorang pejabat teras yang memerlukan kerahasiaan dan keamanan tinggi,
yang apabila diketahui keterlibatannya dalam sebuah aktivitas khusus
dikhawatirkan akan memunculkan masalah bagi dirinya. Tarbiyah fardiyah mampu menghijab peserta tarbiyah
sehingga tidak menimbulkan kerawanan amniyah (keamanan) mutarabbi tersebut.
Program tarbiyah fardiyah dilaksanakan dengan metode individual,
seorang mutarabbi dibimbing oleh murabbi dengan intensif melalui berbagai macam
metode dan sarana sehingga mencapai tujuan dan muwashafat tarbiyah sesuai tahapannya. Jika dalam halaqah tarbawiyah para mutarabbi berada dalam sebuah
kelompok yang terdiri dari beberapa personal, maka pada metode tarbiyah fardiyah satu kelompok terdiri hanya satu orang
mutarabbi saja.
b. Halaqah
Tarbawiyah : Membentuk Tarbiyah Berkelanjutan
Pemilihan kelompok
ini amat menentukan perjalanan tarbiyah berikutnya. Oleh karena itu, dalam
membentuk sebuah kelompok tarbiyah hendaknya diperhatikan beberapa kedekatan
berikut:
1. Kedekatan
mustawa (tingkatan) ruhi, fikri, dan amali
Kendati sama-sama
peserta tarbiyah tahap pertama, akan tetapi masing-masing mutarabbi memilih
kapasitas yang berbeda-beda dari segi ruhaniyah,
fikriyah dan amaliyah. Pengenalan kondisi mutarabbi amat
penting untuk mengetahui kapasitas mereka, sehingga bisa dipilihkan kelompok
yang tak terlalu jauh berbeda kapasitas antara satu dan yang lainnya.
Hal ini penting untuk
memudahkan pengelolaan materi dan kegiatan tarbiyah. Kapasitas ruhiyah yang terlalu jauh rentangnya antara
satu person dan person lainnya akan membuat suasana ketidakkompakan, yang bisa
berakibat terhambatnya perkembangan seseorang. Demikian juga jarak kapasitas fikriyah yang terlalu jauh akan menyulitkan
pemberian materi. Kapasitas amaliyah yang berbeda nyata antara satu person
dan person lainnya akan membuat person yang tidak aktif cenderung menjadi
penonton dan apatis terhadap forum.
2. Kedekatan
kondisi sosial dan ekonomi
Sekalipun tidak
vital, tetapi akan punya peluang menjadi sebuah kendala apabila rentang
kemampuan sosial dan ekonomi dalam satu kelompok tarbiyah berbeda secara nyata.
Oleh karena itu dalam pemiliha kelompok, factor ini penting untuk menjadi
perhatian, agar sebagaian tidak merasa “lebih rendah” yang berakibat minder
dengan yang lainnya.
Kelompok pekerja
kasar dan buruh sebaiknya dijadikan satu, terpisah dari kelompok dosen dan para
doctor. Kelompok petani lebih senang bergaul dengan sesama mereka, demikian pula
pebisnis. Factor ini penting dalam upaya kekompakan kelompok.
3. Kedekatan
usia
Sebaiknya, mutarabbi
yang masih sekolah di SLTP/sederajat dikelompokkan dengan sesama mereka atau
dengan yang seusia. Demikian pula mutarabbi yang sekolah di SMU/sederajat bisa
dicarikan kelompok yang sepadan usianya. Para mahasiswa semester awal akan
lebih pas berada pada kelompok yang rentang semesternya tak terlalu jauh antara
satu dan yang lainnya.
4. Kedekatan
lokasi
Sekalipun sekadar
masalah teknis, tetapi jika factor lokasi tidak disertakan sebagai bahan
pertimbangan akan bisa mengganggu kelancaran program tarbiyah. Peserta dalam
satu kelompok hendaknya berada dalam lokasi yang layak jangkau satu dan yang
lainnya. Tentu saja perlu diperhatikan pula factor alat dan kemudahan
transportasi. Semua itu demi kelancaran perjalanan kelompok tersebut.
Jarak yang terlalu
jauh bisa membuat peluang mmutarabbi datang terlambat, kelelahan dalam
perjalanan, kesulitan transportasi, dsb. Hal ini harus diantisipasi sejak awal
dengan memilihkan kelompok yang dekat.
Selain pertimbangan
teknis tersebut, ada pertimbangan strategis berkaitan dengan kedekatan lokasi,
yaitu proyek penggarapan lahan dakwah kewilayahan. Artinya, apabila mutarabbi
berasal dari satu desa atau kecamatan yang sama, maka laboratorium dakwah bagi
mereka juga di desa atau kecamatan tersebut. Hal ini sekaligus merupakan
proyeksi perluasan aspek kewilayahan, upaya untuk penajaman dan
pengkonsentrasian dakwah di wilayah tersebut.
5. Kedekatan
waktu keterlibatan
Sebaiknya mutarabbi yang baru saja bergabung
dikelompokkan sesama mereka, atau jika pun bersama dengan kelompok yang telah
berjalan, hendaknya tidak telalu jauh perbedaan waktu keterlibatannya. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga suasana kelompok agar tetap kompak, tidak ada yang
tertinggal jauh dalam materi dan kegiatan, serta sebagai bentuk penghormatan
terhadap seluruh personal yang ada. Jika ada penambahan personal di tengah
perjalanan (karena mutasi, misalnya) hendaknya factor waktu keterlibatan ini
menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan kelompok.
C.
Manajemen Murabbi
Sifat-sifat dan
Akhlak Murabbi
Sifat-sifat yang
harus ditampilkan oleh setiap murabbi, secara garis besar bisa dibagi menjadi
dua bagian, yaitu sifat fitriyah dan sifat muktasabah (bentukan). Yang termasuk dalam
kategori sifat fitriyah adalah :
1.
Potensi ma’nawiyah, yaitu potensi jiwa
yang digerakkan oleh iman, diformat oleh Islam dan dibimbing oleh ihsan
2.
Potensi ilmiyah, yaitu kecerdasan intelektual yang
membuatnya senantiasa bersikap obyektif, memutuskan persoalan secara cepat,
tepat, kritis dan kreatif
3.
Potensi jasadiyah, yang memungkinkan
seseorang melaksanakan beban-beban tarbiyah dengan benaar, energik, terencana
dan berkelanjutan hingga tuntas
Sedangkan sifat muktasabah adalah kemampuan pribadi yang bisa
dipelajari dan ditumbuhkembangkan terbagi menjadi dua bagian :
1.
Potensi teoritis dan tsaqofah, meliputi wawasana
keislaman secara umum, wawasana keislaman secara khusus, dan wawasana kehidupan
secara umum yang membuatnya mempu membimbing mutarabbi menuju jalan yang lurus
2.
Potensi praktis dan amaliyah, meliputi aspek
dakwah, aspek harakah dan tanzhim,
serta aspek leadership, yang menyebabkannya memiliki kemampuan dalam mengelola
kegiatan tarbiyah secara terampil sehingga bisa menjadi murabbi yang produktif
dalam pembinaan.
Adapun akhlak sebagai
murabbi dari setiap tahap tarbiyah ini tentu saja akhlak Islam keseluruhannya.
Hanya saja, ada beberapa perhatian penting bagi setiap murabbi untuk menetapi
beberapa karakter berikut :
1.
Berusaha menampilkan keteladanan
yang maksimal di depan mutarabbi dan masyarakat secara umum dalam berbgai
bidang kehidupan
2.
Senantiasa mendekatkan diri kepada
Alloh melalui aktivitas ibadah lillaahi
wahdah
3.
Menjaga kerapian, keindahan, dan
kebersihan dalam berpakaian atau berpenampilan secara umum
4.
Senantiasa berusaha untuk
meningkatkan kapasitas keilmuan
5.
Melaksanakan pertam kali
syiar-syiar ubudiyah yang dibebankan kepada mutarabbi
6.
Menebarkan kasih sayang dan lemah
lembut kepada mutarabbi
7.
Menampilkan sikap kedewasaan
dalam bermuamalah dengan mutarabbi
8.
Menampilkan kepribadian yang
kuat, bersemangat tinggi, dan berdedikasi penuh keikhlasan
9.
Mendoakan mutarabbi di luar
pengetahuan mereka, untuk kebaikan mereka dan keluarga mereka di dunia dan di
akhirat
10. Senantiasa siap memperbaiki kekurangan diri
dalam berbagai hal.
Kemampuan Khas
Murabbi
Selain sifat dan
akhlak, murabbi masih dituntut memiliki sejumlah kemampuan khas berikut :
1.
Kemampuan berbahasa
Arab
Tentu menjadi ideal apabila murabbi mampu berbahasa
Arab, karena sumber agama Islam berbahasa Arab. Selain itu, berbagai rujukan
standar keislaman juga berbahasa Arab. Apabila murabbi memiliki kemampuan
berbahasa Arab, diharapkan akan menjadi akselerator bagi mutarabbi dalam
memahami Islam.
2.
Kemampuan berbahasa
Indonesia
Bahasa komunikasi dalam kegiatan tarbiyah adalah
bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi murabbi untuk memahami kaidah
berbahasa. Dengan kemampuan berbahasa ini, akan memudahkan murabbi menyampaikan
pesan materi. Semakin banyak kosa kata serta gaya bahasa yang dikuasai murabbi,
semakin lancar dan menarik pembicaraannya.
3.
Kemampuan menulis
dengan huruf Arab
Selain karena di antara materi-materi tarbiyah
menggunakan bahasa Arab, lewat tulisan Arab tersebut tarbiyah juga bermaksud
menumbuhkan kedekatan perasaan mutarabbi terhadap khazanah keilmuan dan
kebudayaan Islam. Dengan ditulis secara benar, bagus, indah dan mudah dibaca,
memudahkan mutarabbi menyalin dan memahami tulisan. sebaliknya, jika tulisan
murabbi salah, hal itu dapat tertularkan pada para mutarabbi secara turun-temurun.
4.
Kemampuan menulis
dengan huruf latin
Di antara materi tarbiyah ada yang disampaikan dalam
bahasa Indonesia, sehingga murabbi perlu menuliskannya di papan tulis atau
whiteboard. Tulisan yang bagus dan mudah dibaca akan membantu mutarabbi
memahami isi dan pesan materi. Murabbi yang tulisannya jelek, harus berlatih
agar memiliki tulisan yang bagus dan indah dilihat.
5.
Kemampuan berbicara
Hendaknya murabbi mampu berbicara dengan teratur,
logis (sistematik), dan mudah dipahami. Kelemahan murabbi dalam hal berbicara
antara lain : terlalu cepat dalam berbicara, tidak jelas vocal atau ucapan,
kurang kerasnya volume suara, atau terlalu banyak jeda. Murabbi dituntut mampu
berbicara tidak terlalu cepat namun juga tidak terlalu lambat, vocal yang
kelas, volume tak terlalu keras dan tidak terlalu lemah, serta memiliki
intonasi yang tepat.
6.
Kemampuan beretorika
Retorika dalam berbicara didukung oleh beberapa hal,
diantaranya adalah vocal yang jelas, intonasi yang tepat, nada suara yang enak,
volume suara yang pas, bahasa yang menarik, kosa kata yang tepat, ilustrasi
yang mengena, mimik wajah yang sesuai, dan gerakan anggota tubuh yang serasi.
7.
Kemampuan
mendengarkan pembicaraan
Murabbi harus siap mendengarkan masukan, pertanyaan,
atau bahkan kritikan mutarabbi. Murabbi bukanlah seorang pembicara yang hanya
berbicara. Ia adalah seorang Pembina, yang berbicara pada suatu kesempatan, dan
pada kesempatan yang lain ia mendengarkan pembicaraan mutarabbi. Murabbi harus
bisa menjadi pendengar yang baik terhadap permasalahan mutarabbinya.
8.
Kemampuan menyegarkan
suasana
Kadang-kadang suasana di forum tarbiyah demikian
tegang mencekam, padahal pada saat itu tengah membicarakan hal-hal yang
ringan-ringan saja. Suasana yang monoton seperti ini kurang kondusif bagi
mutarabbi. Oleh karena itulah diperlukan inisiatif murabbi untuk menyegarkan
suasana (tatkala forum mulai terasa penat dan jenuh) berupa, antara lain,
selingan-selingan ringan dan humor-humor/anekdot cerdas. Apalagi jika suasana
ruangan tidak mendukung, dengan model forum yang tegang, akan mempercepat
terjadinya kelelahan dan kejenuhan mutarabbi.
9.
Kemampuan
berkomunikasi
Di antara hal yang amat vital dalam proses tarbiyah
adalah adanya kelancaran berkomunikasi antara murabbi dan mutarabbi, atau
sebaliknya. Murabbi harus berkomunikasi secara efektif, yakni sebuah komunikasi
di mana penerima menginterpretasikan pesan yang diterima sebagaimana
dimaksudkan oleh pengirim, tidak ada bias dan kerancuan. Hangatnya komunikasi,
lancarnya saluran pembicaraan antara kedua belah pihak, sangat besar nilainya
bagi proses tarbiyah. Murabbi harus mengawali komunikasi dengan mutarabbinya.
10.
Kemampuan bercerita
Di antara metode tarbiyah Rosululloh saw terhadap para
sahabat adalah dengan kisah, bahkan tarbiyah dari Alloh melalui Al Quran juga
banyak dengan kisah. Menceritakan kisah kepahlawanan Islam merupakan bagian
utuh dari tarbiyah. Kemampuan murabbi bercerita secara baik menjadi daya tarik
bagi mutarabbi dalam mengikuti forum tarbiyah.
11.
Kemampuan memimpin
forum
Kadang-kadang dalam forum syuro atau diskusi terjadi
kemacetan pembicaraan, atau didominasi oleh satu orang saja. Murabbi harus
mampu memimpin forum sehingga forum menjadi hidup dan terarah. Murabbi perlu
memiliki kecakapan untuk mengarahkan forum sehingga seluruh mutarabbi memiliki
kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengeksplorasi gagasan serta
ide-idenya.
12.
Kemampuan merespon
dan menyelesaikan masalah
Tatkala pada diri mutarabbi mulai muncul
keterbukaan (misalnya ia mulai bercerita tentang permasalahan pribadi kepada
murabbi), murabbi harus meresponnya (misalnya dengan cara berempatik sekaligus
membantu mencari alternative pemecahannya). Murabbi tak boleh mengelak dari
berbagai permasalahan hidup para mutarabbi.
Peningkatan Potensi
Murabbi
Keberhasilan tarbiyah
amat bergantung pada kapasitas murabbi. Apabila murabbi bersikap statis tidak
berupaya menambah kemampuan dan potensi diri, lantas dengan cara apa mereka
bisa meningkatkan kapasitas mutarabbi? Oleh karena itu, menjadi hal yang logis
apabila murabbi harus senantiasa meningkatkan potensi diri. Di antara potensi
yang harus senantiasa dijaga dan bahkan ditingkatkan adalah :
1.
Potensi kerohanian (ruhaniyah),
yang dengan itu para murabbi akan menebarkan kesejukan iman, kehangatan
ukhuwah, kecerahan wajah dan penampilan
2.
Potensi keilmuan, dengan
memperbanyak belajar berbagai keilmuan yang bermanfaat, baik ilmu keislaman,
ilmu sosial, maupun alam
3.
Potensi keilmuan khusus, seperti
bagaimana menulis dengan bagus dan rapi, baik dengan huruf Arab maupun latin;
bagaimana berbicara dengan lancar dan tertib (sistematik); bagaimana
menyampaikan materi dengan logis dan menarik
4.
Potensi wawasan kontemporer, baik
dalam wacana perpolitikan, perekonomian, sastra dan budaya, olahraga,
teknologi, maupun bidang-bidang lain, dengan mengikuti berbagai berita actual
dari peristiwa local hingga internasional
5.
Potensi seni dan keindahan,
dengan menguatkan kecenderungan terhadap nila-nilai estetika, menjaga dan
memperbaiki penampilan diri agar senantiasa indah serta menyenangkan
6.
Potensi manajerial, dengan
mempelajari teori-teori manajemen, hingga mampu mengaplikasikannya dalam proses
tarbiyah
7.
Potensi kepemimpinan, dengan
memperbaiki gaya memimpin, mempelajari seni kepemimpinan, serta berusaha
mengaplikasikannya dalam berhubungan dengan mutarabbi
8.
Potensi tanggung jawab, dengan
semakin mendalamnya perasaan “memiliki”, sehingga muncullah sikap rahmah:
keinginan untuk menjaga, melindungi, membersamai, di samping sikap melatih,
mendorong, dan menghukum
9.
Potensi kekuatan fisik, sehingga
tidak sakit-sakitan, tidak lemah semangat, tidak mudah lelah.
C.
Manajemen Interaksi
Setelah mutarabbi
berada dalam sebuah kelompok tarbiyah dengan murabbi yang telah difinitif,
perhatian berikutnya adalah bagaimana terbangun suatu interaksi positif dalam
kelompok tersebut sehingga mereka bisa saling memberikan kemanfaatan secara
optimal satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya tarbiyah adalah peristiwa :
interaksi murabbi dan mutarabbi; interaksi mutarabbi, materi dan kegiatan;
interaksi antarmutarabbi; interaksi mutarabbi, lingkungan dan sarana-sarana.
Oleh karena itu, amat
penting untuk diperhatikan bagaimana membangun sebuah pola interaksi positif
dalam kelompok tarbiyah. Di antara prinsip manajemen interaksi adalah :
1.
Membangun kepercayaan
awal
Pertemuan pertama
dalam sebuah kelompok antarra murabbi dan para mutarabbi merupakan titik awal
yang banyak menentukan keberhasilan program tarbiyah. Jika pada pertemuan awal
itu antarmutarabbi belum saling mengenal, maka diperlukan waktu untuk saling
membuka diri, berkenalan dan memahami. Demikian juga jika antara murabbi dan
mutarabbi belum saling mengenal, forum awal adalah ta’aruf dan saling membuka
diri.
Pada saat pertemua
pertama tersebut murabbi harus tampil percaya diri. Niatkan diri dengan ikhlas
karena Alloh untuk memulai tarbiyah, membimbing umat meraih kejayaan Islam.
Perhatikan penampilan diri agar tampak indah dan rapi. Persiapkan bahan
pembicaraan awal untuk membuka dan mengawali forum tarbiyah. Persiapkan diri
pula secara teknis untuk menghindari kesalahan atau semacam “cacat” dalam permulaan.
2.
Membangun kedekatan
murabbi dan mutarabbi
Setelah memiliki
pengenalan yang cukup terhadap mutarabbi, murabbi berkewajiban menjalin
hubungan yang baik dan dekat dengan para mutarabbi. Hubungan yang harmonis
semacam ini akan menjadi factor pendukung yang amat signifikan bagi
keberhasilan program tarbiyah. Harapan dari kedekatan hubungan murabbi dan
mutarabbi adalah adanya musharahah (keterbukaan), musyawarah dan musyarakah
(keterlibatan) mutarabbi.
Keterbukaan tidak
mungkin diharapkan dari mutarabbi, apabila ia merasa ada sekat dalam
berhubungan dengan murabbi. Demikian pula syura akan sulit muncul dari
mutarabbi jika tidak ada kedekatan hubungan dengan murabbinya. Kalaupun mmuncul
keterbukaan dan syura, bisa jadi hanya mujamalah (basa-basi) dan tak bermuara
dari kedalaman hati.
Untuk membina
kedekatan hubungan ini, para murabbi hendaknya memperhatikan beberapa perangkat
berikut :
a.
Ikhlas karena Alloh, dalam
berhubungan dengan mutarabbi
b.
Bersahabat, dalam berhubungan
dengan mutarabbi
c.
Lembut,hidupkan suasana dialogis
dalam forum
d.
Munculkan suasana ukhuwah dalam
kelompok (dengan melaksanakan syiar serta hak-hak ukhuwah)
e.
Perhatikan mutarabbi, termasuk
pada hal-hal yang tampak sepele (seperti menghafal nama, memanggil dengan
namanya secara benar, menanyakan kondisi anak dan atau keluarganya)
3.
Membangun komunikasi
efektif
Di antara cirri-ciri
komunikasi efektif adalah :
a. Komunikasi
harus mudah dimengerti
b. Komunikasi
harus lengkap sehingga tidak menimbulkan keraguan
c. Komunikasi
harus tepat waktu dan tepat sasaran
d. Komunikasi
dengan landasan saling kepercayaan
e. Komunikasi
perlu memperhatikan situasi dan kondisi
Komunikasi antara
murabbi dan mutarabbi bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, artinya tidak
terbatas hanya di forum pertemuan rutin tarbiyah saja. Murabbi bisa
menyempatkan waktu untuk mengunjungi rumah mutarabbi, dan sebaliknya mutarabbi
mengunjungi rumah murabbi. Mereka senantiasa menjaga komunikasi timbale balik
untuk memperdekat jarak psikologis keduanya.
Di antara hambatan
bagi terbangunnya komunikasi yang baik antara murabbi dan mutarabbi adalah :
a.
Kesan “keangkuhan” murabbi, atau
“kesakralan” murabbi di hadapan mutarabbi
b.
Perasaan hati yang tidak enak
terhadap murabbi (pada mutarabbi), dan sebaliknya
c.
Jauhnya jarak tempat tinggal
antara murabbi dan mutarabbi
d.
Persepsi mutarabbi terhadap
murabbi, dan sebaliknya
e.
Kesibukan masing-masing pihak
sehingga tidak menyempatkan waktu untuk membangun komunikasi yang sehat
f.
Sifat-sifat ketertutupan kedua
belah pihak.
Manajemen Kegiatan
pada Halaqah Tarbawiyah
Kegiatan sama halnya
dengan materi, adalah sebuah saran mencapai tujuan. Kegiatan dalam program
tarbiyah harus dikelola secara sungguh-sungguh dan professional sehingga bisa
mengantarkan mutarabbi ke gerbang kepahaman yang utuh dan menyeluruh sesuai
target yang diinginkan. Antara materi dan kegiatan dalam program tarbiyah bukan
sesuatu terpisah satu dan yang lainnya, bahkan keduanya merupakan satu rajutan.
Kegiatan yang dipilih harus disesuaikan dengan tahap pembinaan yang tengah
berlangsung.
Kegiatan dalam
program tarbiyah bisa bersifat tarqiyah (peningkatan kapasitas) bisa pula
bersifat tadribiyah (peningkatan kerja). Untuk kegiatan tarqiyah bisa berupa
kegiatan individual, bisa pula kegiatan bersama.
Kegiatan Tarqiyah
Individual
Kegiatan individual
ini dikerjakan oleh setiap individu dalam kelompok tarbiyah. Bentuk dan
frekuensi kegiatan disesuaikan dengan tahap pembinaannya dan sebaiknya ada
kesepakatan bersama terlebih dahulu dalam kelompok tersebut. Murabbi
berkewajiban mengarahkan bentuk kegiatan yang akan disepakati mutarabbi dalam
kelompok, untuk kemudian memantau pelaksanaan dan mengevaluasi hasilnya. Di
antara kegiatan individual untuk mutarabbi adalah sebagai berikut : Tilawah
Al Quran, Hafalan
Al Quran, Hafalan
Hadits, Shalatberjamaah, Hafalan
doa, Shalat
malam, Puasa
sunnah, Olahraga, Infaq, dan Shalat sunnah rawatib
Keteladanan Murobbi
09.54
1 comment
Pernahkah Anda mengalami suatu saat ketika Anda membuka mushaf dan Anda mulai membaca Al-Qur’an kemudian anak-anak Anda datang mendekati Anda sambil membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang tengah anda lakukan? Pernahkah Anda mendapatkan mutarabbi (objek dakwah/peserta didik/murid) Anda mengerjakan shaum (puasa) sunnah padahal Anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya?
Hal tersebut dilakukan oleh mutarabbi Anda hanya karena ia mendapatkan Anda juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya. Pernahkah Anda mengalami khadimat Anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan penampilannya di tengah-tengah keluarga Anda, mulai terbiasa mengenakan gaun panjang, memakai kerudung walau pada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi toh lama kelamaan ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam rumah apalagi di luar rumah? Padahal isteri Anda belum pernah berkata kepadanya bahwa memakai jilbab itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-Nur maupun Al-Ahzab.
Itulah buah dari keteladanan. Ketealadanan adalah cara berdakwah yang paling hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata. Bahkan bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan sebagaimaana pepatah mengatakan: “Lisaanul hal afshahu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerja lebih fasih dari bahasa kata-kata. Dalam ungkapan lain keteladanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut, lurusnya, bengkoknya, miringnya, tegaknya. Benarlah pepatah ini: “Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.
Oleh karena itu, penting bagi para murabbi (dai/pendidik/guru/orang tua) untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murabbi teladan agar keteladanaannya memberi keberkahan bagi perkembangan dakwah dan peningkatan kualitas maupun kuantitas para mutarabbi yang mereka bina. Karena itu para murabbi pun perlu berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang tercatat sejarah sebagai murabbi teladan, setidaknya melalui suratun hayawiyyah (gambaran kehidupan mereka), khusunya dalam melakukan aktivitas pentarbiyahan (mendidik mutarabbi).
Perhatikanlah kehidupan Murabbi hadzihil ummah, Rasulullah saw. Telusuri keteladanan figur murabbi pada diri sahaabatnya, para tabi’in, dan ulama salaafussalih. Aina nahnu minhum? Kita sungguh tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Bahkan rasanya mustahil bisa sama dengan mereka. Itulah satu perasaan yang akan terlintas di benak kita ketika mengetahui keteladaanaan mereka sebagai murabbi. Tetapi kita dinasihati oleh satu pepatah: tasyabbahu in lam takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun, teladanilah meski tidak sama persis dengan mereka, sesungguhnya meneladanani orang-orang mulia adalah satu keberuntungan.
Keteladanan Rasulullah SAW.
Sebagai murabbi Rasulullah saw.
selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang direkomendasikan
Al-Qur’anm yaitu qaulan layyinan (Thaha: 44), qaulan maysuran (Al-Isra’: 28),
qaulan ma’rufan (As-Sajdah: 32), qaulan balighan (An-Nisa’: 63), qaulan sadidan
(An-Nisa’: 9), dan qaulan kariman (Al-Ahzab: 31).
Sebagai murabbi, Rasulullah saw.
tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan kata-kata, apalagi hal itu dilakukan
di hadapan orang lain. Diriwayatkan oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad
As-Sa’idy r.a., ia berkata, “Nabi saw. telah mengutus seseorang yang bernama
Ibnu Lutbiyyah sebagai amil zakat. Setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap
Raasulullah saw. seraya berkata, ‘Ini hasil dari tugas saya, saya serahkan
kepadamu. Dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya.” Lalu Rasulullah saw.
segera naik ke atas mimbar. Setelah menyampaikan puja dan puji kehadirat Allah
swt., beliau berkhutbah seraya berkata, “Sesungguhnya aku megutus seseorang di
antara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana yang telah diperintahkan oleh
Allah swt. kepadaku, lalu ia datang dan berkata: ‘Ini untuk engkau dan yang ini
hadiah untukku. Jika orang itu benar, mengapa dia tidak duduk saja di rumah
bapak atau Ibunya sehingga hadiah tersebut datang kepadanya. Demi Allah,
tidaklah mengambil seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia
bertemu dengan Allah swt. membawa barang yang bukan menjadi haknya.” Lalu
Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangannya hingga tampak ketiaknya seraya
berkata, “Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya
Allah, telah aku sampaikan. ” (Bukhari dan Muslim).
Rasulullah juga tidak pernah
menjaga jarak dengan mutarabbinya. Sehingga tidak terjadi kesenjangan
psikologis antara mutarabbi dengan murabbi. Hal ini dapat dilihat dari dialog
lepas antara Jabir bin Abdillah dengan Rasulullah saw. “Aku pernah keluar
bersama Rasulullah saw. pada peperangan Dzatirriqa’. Aku mengendarai seekor
onta yang lamban jalannya sehingga aku tertinggal jauh dari Rasulullah saw.
Kemudian Rasulullah saw. menemuiku seraya berkata, “Kenapa engkau, hai Jabir? ”
“Ontaku, ya Rasulallah, jalannya lamban sekali,” balasku. Kemudian Rasulullah
berkata lagi, “Berikan kepadaku tongkat yang ada di tanganmu atau berikan aku
sepotong kayu.” Aku berikan kepadanya dan beliau pun memukulkan kayu tersebut
secara perlahan ke onta saya. Lalu beliau menyuruhku menaiki onta itu. Demi
Allah, tiba-tiba ontaku berjalan dengan sangat cepat.
Kemudian obrolan berlanjut. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?” “Sudah, ya Rasulallah,” jawabku. “Dengan janda atau gadis?” tanya beliau lagi. “Dengan janda, ya Rasul,” tegasku. “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan ia dapat bersenang-senang denganmu?” balas Rasulullah saw. dengan nada bertanya. Lalu aku menjelaskan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal pada Perang Uhud dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang. Maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat menjadi pengasuh dan pembimbing mereka.” Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau benar, insya Allah.”
Kemudian obrolan berlanjut. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?” “Sudah, ya Rasulallah,” jawabku. “Dengan janda atau gadis?” tanya beliau lagi. “Dengan janda, ya Rasul,” tegasku. “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan ia dapat bersenang-senang denganmu?” balas Rasulullah saw. dengan nada bertanya. Lalu aku menjelaskan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal pada Perang Uhud dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang. Maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat menjadi pengasuh dan pembimbing mereka.” Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau benar, insya Allah.”
Keteladanan Para Sahabat r.a.
Di antara para sahabat yang paling
menonjol keteladanannya adalah Abu bakar As-Shiddiq r.a. Bukan hanya karena ia
adalah satu-satunya sahabat yang mendapat gelar as-sihiddiq dan juga bukan
hanya karena satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah saw. dalam perjalanaan
hijrah ke Madinah. Tetapi lebih dari itu, karena Abu Bakar layak disebut
sebagai murabbi hadzihil ummah sepeninggalnya Rasulullah saw. Beliaulah yang
memandu akidah dan fikrah para sahabat yang lainnya ketika mereka masih belum
legowo menerima berita wafatnya Rasulullah saw., bahkan termasuk Umar bin
khattab r.a. Pada saat itulah Abu bakar memberikan taujih tarbawy dengan
membacakan firman Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 144, seraya menambahkan
penjalasan dengan kata-kata hikmahnya, “Man kaana ya’budu muhammadan fainna
muhammad qod maata, wa man kaana ya’budullaha fainnallaha hayyun laa yamuutu,
barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah tiada; tetapi
barangsiapa yang menyembah Allah swt., sesungguhnya Allah Hidup dan tidak akan
mati.” Itulah keteladanan Abu Bakar dalan menyemai benih-benih tarbiyah, khusunya
tarbiyah aqidiyah.
Ketika dua pertiga Jazirah Arab
ditimpa gerakan pemurtadan (harakatul irtidad), dalam bentuk pembangkangan
tidak mau membayar kewajiban zakat, lagi-lagi Abu bakar tampil sebagai pelopor.
Dengan ketegasan sebagai murabbi, Abu Bakar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
dengan memerangi mereka. Banyak para sahabat, termasuk Umar bin Khattab, masih
beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk menghentikan gelombang
kemurtadan. Abu Bakar langsung memberikan pelajaran kepada para sahabat
khususnya Umar dengan kalimat, “Hatta anta, ya Umar, ajabbaarun fil jahiliyah
hhawwarun fil Islam? Wallaahi, laa yanqushuddinu wa anaa hayyun, lau mana’uuni
‘uqqaalu ba’iirin yuadduunahi ila Rasuulillah lahaarabtuhu hatta tansalifa
saalifaty, sampai engaku juga, Ya Umar. Apakaah engkau hanya tampak perkasa
pada masa jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa Islam? Demi Allah, tidak akan
berkurang agama ini (Islam) sedikitpun selama aku masih hidup, walaupun mereka
tidak memberikan hanya seutas tali onta yang harus diberikan kepada Rasulullah,
maka tetap akan ku perangi mereka sampaai urat leherku terputus.”
Bahkan keteladan Abu Bakar sebagai
murabbi bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga langsung dibarengi dengan
sikap dan tindakan kongkret agar menjadi contoh bagi para sahabat yang lain.
Misalnya pada saat sebagian besar para sahabat (kibaarus shahabah) keberataan
dengan diangkatnya Usamah Bin Zaid, padahal hal itu telah menjadi ketetapan
komando Rasulullah saw. sebelum wafatnya. Abu Bakar berazam untuk tidak
membatalkan apa yang telah ditetapkan Rasulullah saw. seraya mengiringi
pelepasan ekspedisi Usamah dengan menuntun kudanya sampai perbatasan. Sejak
awal Usamah merasa tidak enak karena Abu Bakar berjalan kaki sementara ia
berada di atas kudanya. Lalu Usamah menawarkaan agar ia turun, Abu Bakar saja
yang naik kuda. Abu Bakar berkata, “Wallahi maa rakibtu wa maa nazalta, wa maa
lialaa ughabbira qadami fi sabilillaah, Demi Allah, aku tidak mau naik dan
engkau juga tidaak perlu turun. Biarkanlah kakiku bersimbah debu di jalan
Allah.”
Keteladanan Ulama Salafusshalih
Salah satu di antara mereka adalah
Atho bin Abi Rabaah rahimahullah. Beliau memimpin halaaqah (kelompok pengajian)
besar di Masjidil Haram semasa Sulaiman bin Abdil Malik menjadi Khalifah.
Khalifah sering menghadiri halaqah Atho bin Abi Rabah. Padahal Atho adalah
seorang habsyi (negro asal Ethiopia) yang pernah menjadi budak seorang wanita
penduduk Kota Mekkah. Atho dimerdekakan karena kepandaiannya dalam mendalami
ajaran Islam.
Keteladanan Atho bin Abi Rabaah
sebagai murabbi adalah kelembutannya dan ketajaaman nasihatnya serta pandangan
dan perhatianya yang penuh kasih sayang. Itu seperti yang dikisahkan Muhammad
bin Suqah, salah seorang ulama Kufah, bahwa suatu ketika Atho bin Abi Rabaah
menasihatinya, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita
tidak menyukai pembicaraan yang berlebihan.” “Lalu apa batasannnya pembicaran
yang berlebihan?” tanyaku. Beliau melanjutkan nasihatnya, “Mereka
mengkategorikan pembicaraan berlebih bila dilakukan selain dari Al-Qur’an yang
dibaca dan difahami; atau hadits Rasulullah yang diriwayatkan; atau berkenaan
dengan amar ma’ruf nahi munkar; atau pembicaraan tentang satu hajat,
kepentingan dan persoalan maisyah.” Kemudian beliau mengarahkan pandangannya
kepadaku seraya berkata, “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kiraaman
kaatibiin) (Al-infithar: 10-11), wa anna ma’a kullin (‘minkum malakaini Anil
yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi
raqiibun ‘atiid) (Qaf: 17-18), Amaa yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi
shahiifatuhullatii amlaa’aahaa shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa
laaisa min amri diinihi walaa amri dunyaahu.”
Kapabilitas takwiniyah (kemampuan membentuk pribadi mutarabbi) Atha bin Abi Rabaah dalam mentarbiyah bukan hanya kepada kalangan pembesar dan terpelajar, tapi sampai seorang tukang cukur. Ini sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah. “Aku melakukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram. Aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya, berapa harganya? “Semoga Allah menunjukimu. Ibadah tidak mensyaratkan soal harga. Duduk sajalah dulu. Soal harga gampang,” jawab tukang cukur. Waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahkan dudukku hingga menghadap kiblat. Kemudian menunjukkan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kanan.
Kapabilitas takwiniyah (kemampuan membentuk pribadi mutarabbi) Atha bin Abi Rabaah dalam mentarbiyah bukan hanya kepada kalangan pembesar dan terpelajar, tapi sampai seorang tukang cukur. Ini sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah. “Aku melakukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram. Aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya, berapa harganya? “Semoga Allah menunjukimu. Ibadah tidak mensyaratkan soal harga. Duduk sajalah dulu. Soal harga gampang,” jawab tukang cukur. Waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahkan dudukku hingga menghadap kiblat. Kemudian menunjukkan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kanan.
Ketika aku dicukur, ia melihatku
diam saja. Lalu ia menegurku, “Kenapa koq diam saja? Ayo perbanyaklah takbir.”
Maka aku pun bertakbir. Setelah selesai, aku hendak langsung pergi. Lalu ia
berkata, “Mau kemana kamu?” “Aku mau ke kendaraanku,” jawabku. Tukang cukur itu
mencegahku seraya berkata, “Shalat dulu dua rakaat, baru kau boleh pergi kemana
kau suka.” Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang cukur bisa seperti ini
kalau bukan dia orang alim. Lalu aku berkata kepadanya, “Dari mana engkau
dapati mengenai beberapa manasik yang kau perintahkan kepadaku?” “Demi Allah,
aku melihat Atho bin Abi Rabaah mempratekkan hal itu, lalu aku mengikutinya,
dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya,” jawab tukang cukur alim
tersebut.
Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar. Tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi. Hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang di antara mereka, “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna, tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar.”
Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar. Tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi. Hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang di antara mereka, “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna, tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar.”
Adalah Said Ibnul Musayyib
rahimahullah (juga seoarang murabbi yang keteladanannya patut dicontoh oleh
para murabbi). Ia memimpin halaqah yang cukup besar di Masjid Nabawi. Si
samping beliau, juga terdapat halaqah ‘Urwah bin Zubair dan Abdullah bin ‘Utbah
rahimahumallah. Said Ibnul Musayyib mempunyai seorang mutarabbi, namanya Abu
Wada’ah. Suatu ketika Abu Wada’ah beberapa kali tidak hadir. Tentu saja Said
bin Musayyib merasa kehilangan mutarabbinya itu. Beliau khawatir kalau-kalau
ketidakhadirannya lantaran sakit atau ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau
bertanya kepada murid-muridnya yang lainnya. Namun tidak ada yang tahu.
Beberapa hari kemudian tiba-tiba Abu Wada’ah datang kembali sebagaimana biasa.
Maka sang murabbi teladan Said bin Musayyib segera menyambut kedatangannya
dengan sapaan yang penuh perhatian. “Kemana saja engkau, ya Aba Wada’ah?”
“Isteriku meninggal dunia sehingga aku sibuk mengurusinya,” jawab Abu wada’ah.
“Mengapa tidak beritahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan
jenazah isterimu serta membantu segala keperluanmu?” tanya Said kembali.
“Jazaakallahu khairan,” jawab Abu Wada’ah yang terkesan memang sengaja tidak
memberi tahu karena khwatir merepotkan murabbinya.
Tidak lama kemudian Said bin
Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikinya, “Apakah engkau belum
terpikir untuk mencari isteri yang baru, ya Aba Wada’ah?” “Yarhamukallah, siapa
orangnya yang mau mengawini anak perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak
kecil yatim, fakir, dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga
dirham,” tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap
keadaan dirinya. “Aku yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku,” tegas
Said. Dengan terbata-bata Abu Wada’ah berucap, ” Eng… engkau akan mengawiniku
dengan anak perempuanmu padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku.” “Ya,
kenapa tidak? Karena kami jika sudah kedataangan seseorang yang kami ridha
terhadap agamanya dan akhlaknya, maka kami kawinkan orang itu. Dan engkau
termasuk orang yang kami ridhai,” jawab Said meyakinkan mutarabbinya.
Lalu dipanggillah orang-orang yang
ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan akad nikah dengan mahar sebanyak dua
dirham. Abu Wada’ah benar-benar terkejut tak tahu harus berkata apa. Antara
kaget daan girang ia pulang menuju rumahnya. Sampai-sampai ia lupa kalau hari
itu ia sedang shaum karena di tengah perjalanan ia terus berpikir dari mana ia
akan menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa? Tak terasa ia sudah
sampai di rumah dan adzan maghrib pun tiba. Lalu ia berbuka dengan sepotong
roti. Baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang mengetuk pintu.
“Siapa yang mengetuk pintu,” tanyanya dari dalam rumah. “Said,” jawab suara di
balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya.
Setelah dibukanya tiba-tiba sang
murabbi sudah ada di hadapannya. Abu Wada’ah mengira telah terjadi “sesuatu”
dengan pernikahannya, lalu ia langsung menyapa sang murabbi seraya berkata, “Ya
Aba Muhammad, mengapa tidak engkau utus seseorang memanggilku sehingga aku yang
datang menemuimu.” “Tidak. Engkau lebih berhak aku datangi hari ini.” Setelah
dipersilakan masuk, Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
“Sesungguhnya anak perempuanku telah sah menjadi isterimu sesuai dengan
syari’at Allah swt. sejak tadi pagi. Dan aku tahu tidak ada seorang pun yang
menemanimu, menghiburmu, dan melipur kesedihanmu, maka aku tidak ingin engaku
bermalam pada hari ini di suatu tempat sedang isterimu masih berada di tempat
lain. Sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke rumahmu.” Lalu Said
menoleh ke arah puterinya seraya berkata, “Masuklah engkau ke rumah suamimu,
wahai Puteriku, dengan menyebut asma Allah dan memohon barakah-Nya.” Masuklah
anak perempuan Said dan ketika melangkahkan kakinya nyaris keserimpet (terinjak
gaunnya) hingga hampir jatuh karena saking malunya. “Sedang aku juga cuma
berdiri di hadapanya kaget campur bingung tak tahu harus berkata apa,” kata Abu
Wada’ah mengenang kejadian itu. Tapi kemudian ia cepat-cepat mendahului
isterinya ke dalam ruangan, lalu ia jauhkan cahaya lampu dari sepotong roti
yang memang tinggal segitu-gitunya supaya tidak terlihat oleh isterinya. Baru
setelah itu ia keluar rumah memanggil ibunya untuk menemui menantu barunya.
Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul Malik bin Marwan, Khalifah Bani Umayyah yang ingin meminang putrinya. Ia malah segera menikahkan puterinya dengan Abu Wada’ah, mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.
Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul Malik bin Marwan, Khalifah Bani Umayyah yang ingin meminang putrinya. Ia malah segera menikahkan puterinya dengan Abu Wada’ah, mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.
Lain lagi dengan kisah Imam Abu
Hanifah. Ia dikenal dengan nama Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau seorang
murabbi yang wajahnya selalu enak dipandang. Wajahnya berseri-seri. Pengtahuannya
dalam. Manis tutur katanya, rapih penampilannya, dan selalu memakai
wangi-wangian. Jika beliau datang ke majelis taklimnya, semua orang yang ada di
situ sudah mengetahuinya sebelum mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian
yang dipakainya. Di samping cerdas, alim, faqih, beliau juga dikenal sebagai
murabbi yang dermawan. Maklum, beliau seorang saudagar pakaian, kain, dan
sutera. Beliau berdagang berkeliling dari kota satu ke kota lain di wilayah
Irak.
Suatu ketika salah seorang muridnya
datang ke tempat jualannya. Ia minta dicarikan baju, lalu beliau mencarinya
sesuai dengan warna yang dimintanya. “Berapa harganya?” tanya sang murid.
“Sedirham,” jawab Imam. “Satu dirham?” tanya sang murid heran. Itu sangat
murah. “Ya, segitu.” “Yang benar nih….” kata muridnya lagi. “Aku tidak
main-main. Aku beli baju ini dan yang serupa lagi dengannya seharga dua puluh
dinar emas dan satu dirham perak. Yang satu aku sudah aku jual, sedang yang
sisanya ini aku jual kepadamu dengan harga sedirham. Aku memang tidak mau
mengambil untung terhadap murid-muridku.”
Suatu ketika Imam Abu Hanifah
melihat salah seorang mutarabbinya berpakaian lusuh sehingga terkesan tidak
enak dipandang. Setelah murid-murid yang lain keluar dari majelis, sehingga
tidak ada seorangpun di dalam majelis itu selain Imam Abu Hanifah dengan
mutarabbinya tersebut, beliau berkata kepadanya, “Angkatlah sajadah ini lalu
ambil sesuatu yang ada di bawahnya.” Setelah diambilnya ternyata uang sebanyak
seribu dirham. “Ambilah uang itu dan perbaikilah penampilanmu,” tegas Imam Abu
Hanifah. Lalu kata orang itu, “Aku sudah cukup. Allah telah melimpahkan
nikmatnya kepadaku. Aku tidak membutuhkan uang ini.” Dengan cerdasnya Imam Abu
Hanifah menyanggah omongan mutarabbinya itu, “Jika memang benar-benar telah
melimpahkan nikmatnya kepadamu, lalu mana bukti kenikmatan-Nya itu? Bukankah
Rasulullah saw. bersabda, ‘Innallaha yuhibbu an yaraa aaatsara ni’matihi ‘ala
‘abdihi, sesungguhnya Allah swt. senang melihat bukti kenikmatan yang
diberi-Nya terlihat pada hamba-Nya? Karena itu, sudah sepantasnya engkau
memperbaiki keadaanmu agar engkau tidak membuat sedih saudaramu.”
Itulah beberapa keteladan ulama
salafussalih dalam mentarbiyah para mutarabbinya.
Wallahu ‘alamu bisshawaab.
Wallahu ‘alamu bisshawaab.