Pernahkah Anda mengalami suatu saat ketika Anda membuka mushaf dan Anda mulai membaca Al-Qur’an kemudian anak-anak Anda datang mendekati Anda sambil membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang tengah anda lakukan? Pernahkah Anda mendapatkan mutarabbi (objek dakwah/peserta didik/murid) Anda mengerjakan shaum (puasa) sunnah padahal Anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya?
Hal tersebut dilakukan oleh mutarabbi Anda hanya karena ia mendapatkan Anda juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya. Pernahkah Anda mengalami khadimat Anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan penampilannya di tengah-tengah keluarga Anda, mulai terbiasa mengenakan gaun panjang, memakai kerudung walau pada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi toh lama kelamaan ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam rumah apalagi di luar rumah? Padahal isteri Anda belum pernah berkata kepadanya bahwa memakai jilbab itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-Nur maupun Al-Ahzab.
Itulah buah dari keteladanan. Ketealadanan adalah cara berdakwah yang paling hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata. Bahkan bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan sebagaimaana pepatah mengatakan: “Lisaanul hal afshahu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerja lebih fasih dari bahasa kata-kata. Dalam ungkapan lain keteladanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut, lurusnya, bengkoknya, miringnya, tegaknya. Benarlah pepatah ini: “Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.
Oleh karena itu, penting bagi para murabbi (dai/pendidik/guru/orang tua) untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murabbi teladan agar keteladanaannya memberi keberkahan bagi perkembangan dakwah dan peningkatan kualitas maupun kuantitas para mutarabbi yang mereka bina. Karena itu para murabbi pun perlu berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang tercatat sejarah sebagai murabbi teladan, setidaknya melalui suratun hayawiyyah (gambaran kehidupan mereka), khusunya dalam melakukan aktivitas pentarbiyahan (mendidik mutarabbi).
Perhatikanlah kehidupan Murabbi hadzihil ummah, Rasulullah saw. Telusuri keteladanan figur murabbi pada diri sahaabatnya, para tabi’in, dan ulama salaafussalih. Aina nahnu minhum? Kita sungguh tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Bahkan rasanya mustahil bisa sama dengan mereka. Itulah satu perasaan yang akan terlintas di benak kita ketika mengetahui keteladaanaan mereka sebagai murabbi. Tetapi kita dinasihati oleh satu pepatah: tasyabbahu in lam takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun, teladanilah meski tidak sama persis dengan mereka, sesungguhnya meneladanani orang-orang mulia adalah satu keberuntungan.
Keteladanan Rasulullah SAW.
Sebagai murabbi Rasulullah saw.
selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang direkomendasikan
Al-Qur’anm yaitu qaulan layyinan (Thaha: 44), qaulan maysuran (Al-Isra’: 28),
qaulan ma’rufan (As-Sajdah: 32), qaulan balighan (An-Nisa’: 63), qaulan sadidan
(An-Nisa’: 9), dan qaulan kariman (Al-Ahzab: 31).
Sebagai murabbi, Rasulullah saw.
tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan kata-kata, apalagi hal itu dilakukan
di hadapan orang lain. Diriwayatkan oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad
As-Sa’idy r.a., ia berkata, “Nabi saw. telah mengutus seseorang yang bernama
Ibnu Lutbiyyah sebagai amil zakat. Setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap
Raasulullah saw. seraya berkata, ‘Ini hasil dari tugas saya, saya serahkan
kepadamu. Dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya.” Lalu Rasulullah saw.
segera naik ke atas mimbar. Setelah menyampaikan puja dan puji kehadirat Allah
swt., beliau berkhutbah seraya berkata, “Sesungguhnya aku megutus seseorang di
antara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana yang telah diperintahkan oleh
Allah swt. kepadaku, lalu ia datang dan berkata: ‘Ini untuk engkau dan yang ini
hadiah untukku. Jika orang itu benar, mengapa dia tidak duduk saja di rumah
bapak atau Ibunya sehingga hadiah tersebut datang kepadanya. Demi Allah,
tidaklah mengambil seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia
bertemu dengan Allah swt. membawa barang yang bukan menjadi haknya.” Lalu
Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangannya hingga tampak ketiaknya seraya
berkata, “Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya
Allah, telah aku sampaikan. ” (Bukhari dan Muslim).
Rasulullah juga tidak pernah
menjaga jarak dengan mutarabbinya. Sehingga tidak terjadi kesenjangan
psikologis antara mutarabbi dengan murabbi. Hal ini dapat dilihat dari dialog
lepas antara Jabir bin Abdillah dengan Rasulullah saw. “Aku pernah keluar
bersama Rasulullah saw. pada peperangan Dzatirriqa’. Aku mengendarai seekor
onta yang lamban jalannya sehingga aku tertinggal jauh dari Rasulullah saw.
Kemudian Rasulullah saw. menemuiku seraya berkata, “Kenapa engkau, hai Jabir? ”
“Ontaku, ya Rasulallah, jalannya lamban sekali,” balasku. Kemudian Rasulullah
berkata lagi, “Berikan kepadaku tongkat yang ada di tanganmu atau berikan aku
sepotong kayu.” Aku berikan kepadanya dan beliau pun memukulkan kayu tersebut
secara perlahan ke onta saya. Lalu beliau menyuruhku menaiki onta itu. Demi
Allah, tiba-tiba ontaku berjalan dengan sangat cepat.
Kemudian obrolan berlanjut. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?” “Sudah, ya Rasulallah,” jawabku. “Dengan janda atau gadis?” tanya beliau lagi. “Dengan janda, ya Rasul,” tegasku. “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan ia dapat bersenang-senang denganmu?” balas Rasulullah saw. dengan nada bertanya. Lalu aku menjelaskan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal pada Perang Uhud dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang. Maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat menjadi pengasuh dan pembimbing mereka.” Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau benar, insya Allah.”
Kemudian obrolan berlanjut. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?” “Sudah, ya Rasulallah,” jawabku. “Dengan janda atau gadis?” tanya beliau lagi. “Dengan janda, ya Rasul,” tegasku. “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan ia dapat bersenang-senang denganmu?” balas Rasulullah saw. dengan nada bertanya. Lalu aku menjelaskan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal pada Perang Uhud dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang. Maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat menjadi pengasuh dan pembimbing mereka.” Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau benar, insya Allah.”
Keteladanan Para Sahabat r.a.
Di antara para sahabat yang paling
menonjol keteladanannya adalah Abu bakar As-Shiddiq r.a. Bukan hanya karena ia
adalah satu-satunya sahabat yang mendapat gelar as-sihiddiq dan juga bukan
hanya karena satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah saw. dalam perjalanaan
hijrah ke Madinah. Tetapi lebih dari itu, karena Abu Bakar layak disebut
sebagai murabbi hadzihil ummah sepeninggalnya Rasulullah saw. Beliaulah yang
memandu akidah dan fikrah para sahabat yang lainnya ketika mereka masih belum
legowo menerima berita wafatnya Rasulullah saw., bahkan termasuk Umar bin
khattab r.a. Pada saat itulah Abu bakar memberikan taujih tarbawy dengan
membacakan firman Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 144, seraya menambahkan
penjalasan dengan kata-kata hikmahnya, “Man kaana ya’budu muhammadan fainna
muhammad qod maata, wa man kaana ya’budullaha fainnallaha hayyun laa yamuutu,
barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah tiada; tetapi
barangsiapa yang menyembah Allah swt., sesungguhnya Allah Hidup dan tidak akan
mati.” Itulah keteladanan Abu Bakar dalan menyemai benih-benih tarbiyah, khusunya
tarbiyah aqidiyah.
Ketika dua pertiga Jazirah Arab
ditimpa gerakan pemurtadan (harakatul irtidad), dalam bentuk pembangkangan
tidak mau membayar kewajiban zakat, lagi-lagi Abu bakar tampil sebagai pelopor.
Dengan ketegasan sebagai murabbi, Abu Bakar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
dengan memerangi mereka. Banyak para sahabat, termasuk Umar bin Khattab, masih
beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk menghentikan gelombang
kemurtadan. Abu Bakar langsung memberikan pelajaran kepada para sahabat
khususnya Umar dengan kalimat, “Hatta anta, ya Umar, ajabbaarun fil jahiliyah
hhawwarun fil Islam? Wallaahi, laa yanqushuddinu wa anaa hayyun, lau mana’uuni
‘uqqaalu ba’iirin yuadduunahi ila Rasuulillah lahaarabtuhu hatta tansalifa
saalifaty, sampai engaku juga, Ya Umar. Apakaah engkau hanya tampak perkasa
pada masa jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa Islam? Demi Allah, tidak akan
berkurang agama ini (Islam) sedikitpun selama aku masih hidup, walaupun mereka
tidak memberikan hanya seutas tali onta yang harus diberikan kepada Rasulullah,
maka tetap akan ku perangi mereka sampaai urat leherku terputus.”
Bahkan keteladan Abu Bakar sebagai
murabbi bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga langsung dibarengi dengan
sikap dan tindakan kongkret agar menjadi contoh bagi para sahabat yang lain.
Misalnya pada saat sebagian besar para sahabat (kibaarus shahabah) keberataan
dengan diangkatnya Usamah Bin Zaid, padahal hal itu telah menjadi ketetapan
komando Rasulullah saw. sebelum wafatnya. Abu Bakar berazam untuk tidak
membatalkan apa yang telah ditetapkan Rasulullah saw. seraya mengiringi
pelepasan ekspedisi Usamah dengan menuntun kudanya sampai perbatasan. Sejak
awal Usamah merasa tidak enak karena Abu Bakar berjalan kaki sementara ia
berada di atas kudanya. Lalu Usamah menawarkaan agar ia turun, Abu Bakar saja
yang naik kuda. Abu Bakar berkata, “Wallahi maa rakibtu wa maa nazalta, wa maa
lialaa ughabbira qadami fi sabilillaah, Demi Allah, aku tidak mau naik dan
engkau juga tidaak perlu turun. Biarkanlah kakiku bersimbah debu di jalan
Allah.”
Keteladanan Ulama Salafusshalih
Salah satu di antara mereka adalah
Atho bin Abi Rabaah rahimahullah. Beliau memimpin halaaqah (kelompok pengajian)
besar di Masjidil Haram semasa Sulaiman bin Abdil Malik menjadi Khalifah.
Khalifah sering menghadiri halaqah Atho bin Abi Rabah. Padahal Atho adalah
seorang habsyi (negro asal Ethiopia) yang pernah menjadi budak seorang wanita
penduduk Kota Mekkah. Atho dimerdekakan karena kepandaiannya dalam mendalami
ajaran Islam.
Keteladanan Atho bin Abi Rabaah
sebagai murabbi adalah kelembutannya dan ketajaaman nasihatnya serta pandangan
dan perhatianya yang penuh kasih sayang. Itu seperti yang dikisahkan Muhammad
bin Suqah, salah seorang ulama Kufah, bahwa suatu ketika Atho bin Abi Rabaah
menasihatinya, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita
tidak menyukai pembicaraan yang berlebihan.” “Lalu apa batasannnya pembicaran
yang berlebihan?” tanyaku. Beliau melanjutkan nasihatnya, “Mereka
mengkategorikan pembicaraan berlebih bila dilakukan selain dari Al-Qur’an yang
dibaca dan difahami; atau hadits Rasulullah yang diriwayatkan; atau berkenaan
dengan amar ma’ruf nahi munkar; atau pembicaraan tentang satu hajat,
kepentingan dan persoalan maisyah.” Kemudian beliau mengarahkan pandangannya
kepadaku seraya berkata, “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kiraaman
kaatibiin) (Al-infithar: 10-11), wa anna ma’a kullin (‘minkum malakaini Anil
yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi
raqiibun ‘atiid) (Qaf: 17-18), Amaa yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi
shahiifatuhullatii amlaa’aahaa shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa
laaisa min amri diinihi walaa amri dunyaahu.”
Kapabilitas takwiniyah (kemampuan membentuk pribadi mutarabbi) Atha bin Abi Rabaah dalam mentarbiyah bukan hanya kepada kalangan pembesar dan terpelajar, tapi sampai seorang tukang cukur. Ini sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah. “Aku melakukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram. Aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya, berapa harganya? “Semoga Allah menunjukimu. Ibadah tidak mensyaratkan soal harga. Duduk sajalah dulu. Soal harga gampang,” jawab tukang cukur. Waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahkan dudukku hingga menghadap kiblat. Kemudian menunjukkan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kanan.
Kapabilitas takwiniyah (kemampuan membentuk pribadi mutarabbi) Atha bin Abi Rabaah dalam mentarbiyah bukan hanya kepada kalangan pembesar dan terpelajar, tapi sampai seorang tukang cukur. Ini sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah. “Aku melakukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram. Aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya, berapa harganya? “Semoga Allah menunjukimu. Ibadah tidak mensyaratkan soal harga. Duduk sajalah dulu. Soal harga gampang,” jawab tukang cukur. Waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahkan dudukku hingga menghadap kiblat. Kemudian menunjukkan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kanan.
Ketika aku dicukur, ia melihatku
diam saja. Lalu ia menegurku, “Kenapa koq diam saja? Ayo perbanyaklah takbir.”
Maka aku pun bertakbir. Setelah selesai, aku hendak langsung pergi. Lalu ia
berkata, “Mau kemana kamu?” “Aku mau ke kendaraanku,” jawabku. Tukang cukur itu
mencegahku seraya berkata, “Shalat dulu dua rakaat, baru kau boleh pergi kemana
kau suka.” Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang cukur bisa seperti ini
kalau bukan dia orang alim. Lalu aku berkata kepadanya, “Dari mana engkau
dapati mengenai beberapa manasik yang kau perintahkan kepadaku?” “Demi Allah,
aku melihat Atho bin Abi Rabaah mempratekkan hal itu, lalu aku mengikutinya,
dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya,” jawab tukang cukur alim
tersebut.
Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar. Tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi. Hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang di antara mereka, “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna, tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar.”
Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar. Tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi. Hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang di antara mereka, “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna, tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar.”
Adalah Said Ibnul Musayyib
rahimahullah (juga seoarang murabbi yang keteladanannya patut dicontoh oleh
para murabbi). Ia memimpin halaqah yang cukup besar di Masjid Nabawi. Si
samping beliau, juga terdapat halaqah ‘Urwah bin Zubair dan Abdullah bin ‘Utbah
rahimahumallah. Said Ibnul Musayyib mempunyai seorang mutarabbi, namanya Abu
Wada’ah. Suatu ketika Abu Wada’ah beberapa kali tidak hadir. Tentu saja Said
bin Musayyib merasa kehilangan mutarabbinya itu. Beliau khawatir kalau-kalau
ketidakhadirannya lantaran sakit atau ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau
bertanya kepada murid-muridnya yang lainnya. Namun tidak ada yang tahu.
Beberapa hari kemudian tiba-tiba Abu Wada’ah datang kembali sebagaimana biasa.
Maka sang murabbi teladan Said bin Musayyib segera menyambut kedatangannya
dengan sapaan yang penuh perhatian. “Kemana saja engkau, ya Aba Wada’ah?”
“Isteriku meninggal dunia sehingga aku sibuk mengurusinya,” jawab Abu wada’ah.
“Mengapa tidak beritahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan
jenazah isterimu serta membantu segala keperluanmu?” tanya Said kembali.
“Jazaakallahu khairan,” jawab Abu Wada’ah yang terkesan memang sengaja tidak
memberi tahu karena khwatir merepotkan murabbinya.
Tidak lama kemudian Said bin
Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikinya, “Apakah engkau belum
terpikir untuk mencari isteri yang baru, ya Aba Wada’ah?” “Yarhamukallah, siapa
orangnya yang mau mengawini anak perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak
kecil yatim, fakir, dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga
dirham,” tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap
keadaan dirinya. “Aku yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku,” tegas
Said. Dengan terbata-bata Abu Wada’ah berucap, ” Eng… engkau akan mengawiniku
dengan anak perempuanmu padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku.” “Ya,
kenapa tidak? Karena kami jika sudah kedataangan seseorang yang kami ridha
terhadap agamanya dan akhlaknya, maka kami kawinkan orang itu. Dan engkau
termasuk orang yang kami ridhai,” jawab Said meyakinkan mutarabbinya.
Lalu dipanggillah orang-orang yang
ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan akad nikah dengan mahar sebanyak dua
dirham. Abu Wada’ah benar-benar terkejut tak tahu harus berkata apa. Antara
kaget daan girang ia pulang menuju rumahnya. Sampai-sampai ia lupa kalau hari
itu ia sedang shaum karena di tengah perjalanan ia terus berpikir dari mana ia
akan menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa? Tak terasa ia sudah
sampai di rumah dan adzan maghrib pun tiba. Lalu ia berbuka dengan sepotong
roti. Baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang mengetuk pintu.
“Siapa yang mengetuk pintu,” tanyanya dari dalam rumah. “Said,” jawab suara di
balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya.
Setelah dibukanya tiba-tiba sang
murabbi sudah ada di hadapannya. Abu Wada’ah mengira telah terjadi “sesuatu”
dengan pernikahannya, lalu ia langsung menyapa sang murabbi seraya berkata, “Ya
Aba Muhammad, mengapa tidak engkau utus seseorang memanggilku sehingga aku yang
datang menemuimu.” “Tidak. Engkau lebih berhak aku datangi hari ini.” Setelah
dipersilakan masuk, Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
“Sesungguhnya anak perempuanku telah sah menjadi isterimu sesuai dengan
syari’at Allah swt. sejak tadi pagi. Dan aku tahu tidak ada seorang pun yang
menemanimu, menghiburmu, dan melipur kesedihanmu, maka aku tidak ingin engaku
bermalam pada hari ini di suatu tempat sedang isterimu masih berada di tempat
lain. Sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke rumahmu.” Lalu Said
menoleh ke arah puterinya seraya berkata, “Masuklah engkau ke rumah suamimu,
wahai Puteriku, dengan menyebut asma Allah dan memohon barakah-Nya.” Masuklah
anak perempuan Said dan ketika melangkahkan kakinya nyaris keserimpet (terinjak
gaunnya) hingga hampir jatuh karena saking malunya. “Sedang aku juga cuma
berdiri di hadapanya kaget campur bingung tak tahu harus berkata apa,” kata Abu
Wada’ah mengenang kejadian itu. Tapi kemudian ia cepat-cepat mendahului
isterinya ke dalam ruangan, lalu ia jauhkan cahaya lampu dari sepotong roti
yang memang tinggal segitu-gitunya supaya tidak terlihat oleh isterinya. Baru
setelah itu ia keluar rumah memanggil ibunya untuk menemui menantu barunya.
Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul Malik bin Marwan, Khalifah Bani Umayyah yang ingin meminang putrinya. Ia malah segera menikahkan puterinya dengan Abu Wada’ah, mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.
Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul Malik bin Marwan, Khalifah Bani Umayyah yang ingin meminang putrinya. Ia malah segera menikahkan puterinya dengan Abu Wada’ah, mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.
Lain lagi dengan kisah Imam Abu
Hanifah. Ia dikenal dengan nama Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau seorang
murabbi yang wajahnya selalu enak dipandang. Wajahnya berseri-seri. Pengtahuannya
dalam. Manis tutur katanya, rapih penampilannya, dan selalu memakai
wangi-wangian. Jika beliau datang ke majelis taklimnya, semua orang yang ada di
situ sudah mengetahuinya sebelum mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian
yang dipakainya. Di samping cerdas, alim, faqih, beliau juga dikenal sebagai
murabbi yang dermawan. Maklum, beliau seorang saudagar pakaian, kain, dan
sutera. Beliau berdagang berkeliling dari kota satu ke kota lain di wilayah
Irak.
Suatu ketika salah seorang muridnya
datang ke tempat jualannya. Ia minta dicarikan baju, lalu beliau mencarinya
sesuai dengan warna yang dimintanya. “Berapa harganya?” tanya sang murid.
“Sedirham,” jawab Imam. “Satu dirham?” tanya sang murid heran. Itu sangat
murah. “Ya, segitu.” “Yang benar nih….” kata muridnya lagi. “Aku tidak
main-main. Aku beli baju ini dan yang serupa lagi dengannya seharga dua puluh
dinar emas dan satu dirham perak. Yang satu aku sudah aku jual, sedang yang
sisanya ini aku jual kepadamu dengan harga sedirham. Aku memang tidak mau
mengambil untung terhadap murid-muridku.”
Suatu ketika Imam Abu Hanifah
melihat salah seorang mutarabbinya berpakaian lusuh sehingga terkesan tidak
enak dipandang. Setelah murid-murid yang lain keluar dari majelis, sehingga
tidak ada seorangpun di dalam majelis itu selain Imam Abu Hanifah dengan
mutarabbinya tersebut, beliau berkata kepadanya, “Angkatlah sajadah ini lalu
ambil sesuatu yang ada di bawahnya.” Setelah diambilnya ternyata uang sebanyak
seribu dirham. “Ambilah uang itu dan perbaikilah penampilanmu,” tegas Imam Abu
Hanifah. Lalu kata orang itu, “Aku sudah cukup. Allah telah melimpahkan
nikmatnya kepadaku. Aku tidak membutuhkan uang ini.” Dengan cerdasnya Imam Abu
Hanifah menyanggah omongan mutarabbinya itu, “Jika memang benar-benar telah
melimpahkan nikmatnya kepadamu, lalu mana bukti kenikmatan-Nya itu? Bukankah
Rasulullah saw. bersabda, ‘Innallaha yuhibbu an yaraa aaatsara ni’matihi ‘ala
‘abdihi, sesungguhnya Allah swt. senang melihat bukti kenikmatan yang
diberi-Nya terlihat pada hamba-Nya? Karena itu, sudah sepantasnya engkau
memperbaiki keadaanmu agar engkau tidak membuat sedih saudaramu.”
Itulah beberapa keteladan ulama
salafussalih dalam mentarbiyah para mutarabbinya.
Wallahu ‘alamu bisshawaab.
Wallahu ‘alamu bisshawaab.
1 komentar:
Terimah kasih telah berbagi ilmu gan.....
Oia salam kenal
Al Quran Digital Readpen PQ15
Posting Komentar